Bukittinggi – Pusat Kuliner Stasiun Lambung di Kota Bukittinggi merupakan sebuah inisiatif yang signifikan untuk meningkatkan UMKM lokal dan menciptakan ruang publik yang hidup. Dengan menyediakan 116 kios untuk pedagang UMKM, Pusat Kuliner Stasiun Lambung menawarkan lingkungan yang terstruktur dan mendukung. Langkah ini membantu memformalkan usaha kecil, memberikan mereka visibilitas yang lebih baik dan berpotensi meningkatkan basis pelanggan mereka. Infrastruktur yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan penjualan dan keuntungan bagi para pedagang. Meskipun proyek ini memiliki kelebihan, namun proyek ini juga memiliki tantangan dan area yang perlu ditingkatkan dari perspektif ekonomi dan publik.
Saat ini keberadaan stasiun lambung seperti terjebak di tengah kota. Bangunan yang luas, tetapi tidak disertai dengan manajemen dan inovasi dengan kearifan lokal, telah membuatnya menjadi sepi dan hanya sebatas ruangan tempat menjual kuliner yang tidak memiliki segmen unik. Operasi kios yang hanya terfokus di malam hari saja, membuat kawasan strategis tersebut menjadi tidak berguna di pagi dan siang hari. Ini memunculkan biaya kesempatan, dan menghilangkan peluang pendapatan bagi pemerintah daerah, yang dimana anggaran ini mungkin bisa dialokasikan ke sektor lainnya yang lebih produktif.
Bila ditinjau dari segi ekonomi tentu tidak seimbang manfaat dengan biaya yang telah dikeluarkan. Terlebih lagi untuk sewa lahan saja mencapai 2 Milyar per tahun ke PT KAI, dan pembangunan kios-kios (kontainer) semi permanen menelan anggaran lebih kurang 25 Milyar. Belum lagi untuk biaya pemeliharaan, operasional listrik, keamanan, dan kebersihan yang menuntut biaya berkepanjangan. Apakah perputaran uang di stasiun lambung sudah bisa sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan? Lalu apakah ada pendapatan daerah dari stasiun lambung yang bisa membiayai operasionalnya sendiri? Baik, jika ini diklaim untuk memberikan stimulasi ekonomi masyarakat, lalu apakah sudah dilakukan evaluasi bahwa sasaran 116 kios untuk UMKM benar sudah memenuhi harapan baik dari segi ekonomi, maupun dari segi sosial?. Padahal, saat ini Pengelolaan dana publik, tidak hanya terfokus pada pemberian dana untuk menjamin kesejahteraan sosial, tetapi pemerintah juga dituntut kompetitif, bisa menyelaraskan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Konsep stasiun lambung, ini secara jangka pendek memang dapat menarik pengunjung, dan turut mendukung sektor pariwisata. Akan tetapi seiring berjalan waktu, keberlanjutan jangka panjang dari pusat kuliner ini bergantung pada dukungan pelanggan yang konsisten. Pemda dan penjual membutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang cermat untuk mempertahankan minat masyarakat dalam jangka panjang. Jika kebaruannya memudar atau jika kondisi ekonomi memburuk, pusat kuliner tersebut mungkin akan kesulitan menarik pengunjung, dan menempatkan UMKM dalam risiko. Lihat saja saat ini, lokasi kios pada bagian depan (tahap 1) nampak kosong, sepi penjual dan juga sepi pengujung. Di bagian tengah (tahap 2), tidak begitu ramai, bila dibandingkan dengan luas dan banyaknya kios. Bahkan untuk pengunjung di malam hari, cenderung lebih ramai kafe-kafe yang memang sangat menjamur di Kota Bukittinggi, daripada stasiun lambung sendiri. Meskipun lokasi baru menawarkan fasilitas yang lebih baik, beberapa pedagang tradisional mungkin akan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga berpotensi penurunan pendapatan. Bahkan sebagian pedagang, lebih memilih untuk keluar lagi dari stasiun lambung dan memilih berjualan di sepanjang jalan kembali.
Ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah daerah. Evaluasi berkala, penempatan manajemen yang tepat, kolaborasi aktif dengan berbagai pihak, dan inovasi berkelanjutan, perlu dilakukan. Jangan hanya membuat sesuatu, lalu meninggalkan. Dalam arti kata “pengelolaan dana publik, harus dipertanggungjawabkan secara efisien, efektif, ekonomis, transparan, dan bermanfaat.
penulis : S.raini