Idul Adha dan Dugaan Inses Bukittinggi
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari Bukittinggiku.ig, Wako ES tidak hadir saat jumpa pers wartawan malam ini, Selasa, (27/6/2023), wartawan minta dijadwalkan ulang.
Meski begitu, dalam video yang berlogo Bukittinggi, Wali Kota Bukittinggi, ES, mengatakan dirinya telah berkomunikasi dengan Kapolresta Bukittinggi terkait dugaan perbuatan inses di daerahnya. Menurut ES, saat ini polisi masih dalam penyelidikan tentang adanya kasus dugaan inses ini.
“Saya sudah menghubungi pihak Polresta Bukittinggi untuk ditindaklanjuti secara hukum. sampai sekarang kasus ini sedang dalam penyelidikan belum ada keterangan dari polresta menyatakan bahwa ini hoaks ini bohong tidak ada,” kata ES, melalui rekaman video yang diterima Republika, Selasa (27/6/2023).
Seperti diketahui juga sebagaimana dilansir dari Republika, buntut informasi inses yang dibeberkan ES dalam forum sosialisasi tersebut, ES kemudian dilaporkan ke Polresta Bukittinggi oleh pihak keluarga dan juga ninik mamak Bukittinggi kemarin, Senin (27/6/2023).
Republika juga menjelaskan, Seperti diketahui ES dilaporkan oleh pihak keluarga dan juga ninik mamak di Bukittinggi ke Polresta karena dinilai telah menyampaikan info diduga hoaks terkait adanya dugaan inses. Kuasa Hukum pihak keluarga menyayangkan Wali Kota ES membeberkan isu ini ke publik tanpa lebih dulu melakukan konfirmasi.
Ditempat berbeda, Riyan Permana Putra kandidat doktor hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang menyatakan kepada media ini dari dugaan kekisruhan yang terjadi jelang hari raya qurban (Idul Adha 2023) ini kita bisa mengambil renungan dengan teringat pepatah Arab yang mengajarkan: salamatul insan, fi hifzil lisan, artinya: selamatnya seseorang, tergantung kepada dapat atau tidaknya ia memelihara lidahnya, katanya.
Apalagi menurut Riyan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 menjelaskan memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, gibah (bergunjing), fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.
Dan diperkuat dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melarang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.
Jika melanggar ketentuan di atas pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, tegasnya.
Lalu Riyan juga menyatakan sebagai warga kota tentu tidak ingin melihat polemik inses yang diduga pembohongan publik yang diduga diucapkan pemimpin Bukittinggi berkelanjutan, apalagi sampai berujung impeachment (pemakzulan) terhadap walikota sebagaimana terjadi pada Bupati Jember.
“Usulan pemberhentian atau impeachment terhadap Walikota merupakan konsekuensi dari hak pengawasan yang melekat pada anggota DPRD dalam mengevaluasi kinerja kepala daerah sebagai wujud pelaksanaan prinsip checks and balances. Berdasar Pasal 149 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki hak pengawasan yang dapat berujung kepada impeachment, yaitu hak intepelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat,” tambahnya.
Bagaimanapun juga jelas Riyan, kekuatan kata-kata adalah bagaikan pedang bermata dua. Perkataan para pemimpin, di satu sisi bisa membawa manfaat, tetapi juga bisa membawa kerusakkan yang dahsyat bagi rakyat. Keterpurukan republik kita yang sudah berjalan secara turun temurun, salah satunya juga diakibatkan oleh efek negatif kekuatan kata-kata para pemimpin kita, jelasnya.
“Seharusnya kekuatan kata-kata membingkai peradaban, membalut perjuangan, dan menggoreskan sandi munculnya para pemimpin besar dan kemajuan. Sebagaimana seorang mantan budak barbar bernama Tariq bin Ziyad menjadi pemimpin besar Islam penakluk Eropa. Dengan ucapannya yang cukup terkenal ketika memerintahkan pasukannya membakar kapal-kapal mereka sendiri, Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid,” lanjutnya.
Terlepas dari kesalahan politik masa lalu ungkap Riyan, harus kita akui juga bahwa militer Indonesia (baca TNI) adalah salah satu contoh lembaga yang cukup cerdik mewarnai sistem kaderisasi internal dengan menggunakan metode positive therapy yang dipondasi oleh kekuatan kata-kata. Maka jargon, mars, slogan, dan doktrin kata-kata bijak para pendahulu adalah makanan sehari-hari para taruna muda dan menjadi motivator penting penyemangat pergerakan mereka. Menengok ke dalam sistem pendidikan Islam yang ada, belumlah kita sampai pada suatu tahapan sistem kaderisasi dimana hadits nabi, kata bijak para sahabat dan ulama setelahnya, berkedudukan penting sebagai jargon, cermin ataupun elemen motivator perjuangan kita, ujarnya.
Lalu, bagaimana sebenarnya kita harus berkata-kata? Konsepsi dan metode berkata-kata, telah diajarkan secara gamblang oleh Allah kepada kita kata Riyan yang merupakan Ketua Bidang Hukum Pengacara dan Jawara Bela Ummat (Pejabat) Sumatera Barat ini.
Pertama, Konsepsi qaulan marufa (perkataan yang baik). Perkataan baik yang mendidik, dan dapat bersifat sebagai cermin dalam tindakan masyarakat.
Kedua, Konsepsi qaulan sadida (perkataan yang tegas dan benar) membawa implikasi bahwa perkataan seorang pemimpin haruslah tegas, benar, dan straight to the point. Pemimpin bukanlah seorang orator yang bisanya hanya menipu rakyat dengan kata-kata yang abstrak, ataupun kata-kata ambigu yang membius. Tegas bukan berarti keras atau kasar, tetapi tegas membawa makna konsistensi dan keteguhan prinsip.
Ketiga, Konsepsi qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut). Dilatar belakangi oleh kisah nabi Musa dan Harun yang diperintahkan oleh Allah untuk menghadapi Firaun dengan perkataan yang lemah lembut. Allah memberi nasehat kepada kita untuk tetap lembut, meskipun yang dihadapi adalah seorang jahil dan perusak.Tentu ini tidak bisa dihantamkan dengan konsepsi qaulan sadida. Justru ketegasan merupakan pengokoh kelembutan.
Keempat, Konsepsi qaulan maisura (perkataan yang pantas). Janganlah menggunakan kata-kata yang tidak pantas dan menyinggung perasaaan, meskipun itu kepada bawahan kita, kepada penerima infaq harta-harta kita, dan juga terutama kepada orang-orang yang lebih tua daripada kita.
Kelima, Konsepsi qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa), adalah ucapan berbobot yang menyentuh jiwa dan ruh para pendengarnya. Dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kemampuan massa yang dihadapi, fasih dan jelas maknanya.
Dan keenam, Konsepsi qaulan karima (perkataan yang mulia) yaitu perkataan yang penuh adab, rasa hormat dan kasih sayang. Perkataan tidak bersifat menantang atau bahkan merendahkan pendengar.
Insya Allah kita dan juga para pemimpin kita mendapat bimbingan dari Allah, untuk merefleksikan keenam konsepsi Qurani diatas dalam kehidupan nyata, harapnya.
Dan kita terlindung dari jeleknya pemimpin, sebagaimana hadis nabi
dari ‘Auf bin Malik, Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai kamu dan kamu mencintainya, mendoakan kamu dan kamu mendo’akan mereka, sedangkan pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu.”[HR Muslim]
“Maka untuk itu, mari kita memohon kepada Allah S.W.T. Semoga kita selalu diberikan kekuatan untuk mengendalikan lidah kita, Aamiin,” tutup Riyan.(Iyas Kari)