Penulis: Mira Syahraini, SE, MM, CfrA (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Manajemen)
Bukittinggi – Keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpin layaknya nakhoda yang akan menentukan akan kemana organisasi dibawa, bagaimana anggota di dalamnya bisa bekerjasama dengan baik untuk mencapai tujuan bersama, bagaimana anggota organisasi bisa merasa bahwa tujuan organisasi adalah tujuannya sendiri, dan bagaimana pemimpin bisa bersikap ke dalam organisasi, ataupun keluar organisasi. Pemimpin merupakan lambang atau icon suatu organisasi, yang mewakili citra dan kualitas suatu organisasi. Sebegitu kuatnya arti pemimpin, maka sebegitu kuat pulalah tanggung jawab pemimpin, baik kepada dirinya, orang lain, dan kepada masyarakat.
Kepemimpinan menurut Yukl (2010) merupakan suatu proses yang disengaja dari seseorang untuk memberikan pengaruh yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, mengarahkan aktivitas kelompok, memotivasi pengikutnya, untuk berkontribusi dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan tujuan bersama yaitu tujuan organisasi. Sehingga pemimpinlah yang menjadi sebagai tonggak utama yang menopang suatu organisasi, dimana bertahan dan majunya suatu organisasi akan tergantung pada pemimpinnya.
Pemimpin memikul tanggung jawab yang besar, yang mana menghadapi tantangan yang rumit dalam setiap jalannya. Oleh karena itu diperlukan banyak kecerdasaan dalam diri pemimpin, baik itu kecerdasan kognitif, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan kecerdasannya, pemimpin akan memiliki insight (intuisi dan pemahaman yang mendalam), menentukan tujuan dengan tepat, merumuskan dan mengatur strategi, mengelola sumber daya, mengarahkan orang-orang, memberi inspirasi dan motivasi, menjadi role model, bijak dalam membuat keputusan, fokus pada pencapaian tujuan organisasi, inovatif, adaptif dan reaktif terhadap perubahan, peka terhadap lingkungan, dan mampu mewakili organisasi dengan pihak luar baik dalam hal bernegosiasi, berkolaborasi, dan bahkan berkompetisi.
Terdapat beberapa teori kepemimpinan yang membantu pemimpin atau orang yang ingin menjadi pemimpin untuk dapat memiliki karakter dan bersikap yang efektif dalam menjalankan peran dan tugasnya sebagai pemimpin. Pertama adalah trait theory mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan (leaders are born), yang artinya segala kecerdasan dan kharisma yang dimiliki pemimpin merupakan gift (karunia) yang telah diberikan Tuhan. Teori ini mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian dan bakat yang dimiliki oleh pemimpin yang sukses, seperti originalitas, popularitas, kemampuan bermasyarakat, kemampuan memberi penilaian, agresivitas, rasa humor, keinginan untuk unggul, daya kooperatif, tingkat berkehidupan, dsb.
Kedua adalah teori perilaku (Behavior theory) yang berpendapat bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dan diperoleh melalui pengalaman dan pembelajaran, dengan mempelajari perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif dalam organisasi. Sehingga pada behavior theory, menyatakan bahwa pemimpin dapat dibentuk dan dilatih, dan siapapun dapat menjadi pemimpin. Menurut behavior theory, bahwa perilaku yang gigih akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dan keberhasilan organisasi, dan bahwa pemimpin dapat belajar tentang perilaku baru dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah, meningkatkan produktivitas, dan mencapai keberhasilan organisasi.
Ketiga adalah contingency theory, Teori ini beranggapan bahwa penentu keberhasilan kepemimpinan bukan hanya berdasarkan sifat dan prilaku pemimpin tetapi juga karena faktor situasi. Artinya sifat dan prilaku tertentu hanya cocok pada situasi tertentu. Sehingga jenis perilaku kepemimpinan yang paling efektif bergantung pada situasi yang dihadapi, dan para pemimpin harus dapat menyesuaikan perilaku kepemimpinan mereka agar sesuai dengan situasi tersebut supaya memperoleh hasil yang efektif.
Keempat adalah transformation theory, yaitu teori kepemimpinan yang menekankan pada kemampuan seorang pemimpin untuk menginspirasi dan memotivasi bawahannya untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin ini menggunakan kharisma dalam menginspirasi pengikutnya, dengan karakteristik tertentu, seperti kepercayaan diri, integritas, keberanian, dan kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi orang lain. Sehingga mereka mampu menciptakan visi yang diikuti oleh pengikutnya dengan bekerja melampau dari harapan.
Dalam menghadapi situasi lingkungan pada organisasi saat ini, yang penuh dengan kompleksitas dan ketidakpastian, akibat dari kemajuan tekhnologi, efek pandemi, dinamika politik, globalisasi, dan krisis segala hal, baik ekonomi, budaya, sosial, dan aspek lainnya, yang mana disebut dengan kondisi VUCA (Volatility-gejolak, Uncertainty-ketidakpastian, Complexity-kompeksitas, dan Ambiguity-ketidakjelasan). Maka keempat teori kepemimpinan diatas, belum cukup untuk dapat mengatasi hal tersebut. Terakhir banyak penelitian yang menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan solusi kepemimpinan yang efektif dalam menghadapi situasi yang mengalami perubahan dengan cepat, karena kepemimpinan transformasional terbukti mampu mendorong karyawan untuk melakukan perubahan (Asbari, dalam Putri dan Nuri, 2022); (Novitasari, dkk, 2020), dan ini penting dalam bertahan dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Akan tetapi teori transformasi, sama sekali tidak berfokus pada aspek budaya dan nilai. Teori ini hanya menggiring pemimpin untuk hanya fokus ke depan untuk melakukan perubahan. Sehingga belum mampu mengatasi krisis sosial dan nilai yang ikut berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.
Salah satu teori lama yang terlupakan, kini dibahas lagi oleh peneliti baru-baru ini yaitu kepemimpinan Institutional (instittutional leadership). Teori kepemimpinan ini dicetuskan oleh Selznick pada tahun 1957, yang berpandangan bahwa organisasi adalah suatu lembaga yang selalu berevolusi seiring perkembangan zaman, karena itu pemimpin harus selalu menjaga dan membangun nilai/karakter dari organisasi, serta merespon tekanan internal dan eksternal melalui konsistensi internal dari kapabilitas organisasinya (Washington, Marvin et al, 2007).
Pada kepemimpinan Institutional, pempimpin terlebih dahulu meyakini dan memahami tentang jati diri, asal muasal keberadaan organisasi semenjak awal berdiri, nilai-nilai, visi misi, budaya, norma yang menjadi karakter dari organisasinya. Pembangunan karakter dan konsistensi dari dalam merupakan satu kekuatan, dengan membangun kepercayaan diri seluruh jajaran sumber daya manusia, mendahulukan kesejahteraan dan keselamatan karyawannya, dan mendorong “Tim inti” untuk melakukan inovasi, serta karyawan lainnya tetap menjalankan aktivitas rutin secara berkualitas. Inovasi dan fleksibilitas menjadi kunci, dalam implementasi mekanisme ini.
Di sisi lain, organisasi fokus membangun hubungan melalui peningkatan komunikasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Komunikasi dilakukan dengan stakeholder untuk senantiasa memberi informasi tentang perkembangan aksi-aksi yang dijalankan. Pada instittutional leadership theory, organisasi adalah sebuah institusi, yang tidak hanya bercerita tentang aktivitas-aktivitas di dalam (intra organisasi), tetapi juga membutuhkan legitimasi sosial (pemerintah dan masyarakat). Oleh karena itu pimpinan harus memahami dan mempertimbangkan semua faktor internal dan eksternal seperti budaya, politik, dan sosial masyarakat, dalam menjalankan aksi-aksi bisnisnya. Sebagai institusi, perusahaan harus eksis dan jelas di dalam lingkungannya, bisa diterima oleh lingkungannya, dan itu harus didukung dari kekuatan internal yang konsisten (Biggart, and Gary, 1987).
Kepemimpinan Institutional merupakan solusi bagi banyak pemimpin dunia dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat. Beberapa perusahaan multinasional India membuktikan mereka mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat disrupsi bisnis pada masa pandemi, dan bahkan menemukan cara-cara baru untuk bertahan di masa depan, melalui instittutional leadership, dimana pemimpin menggabungkan semua faktor “nilai, budaya, lingkungan, politik, ekonomi”, memadukan praktek jangka pendek dan jangka panjang, menetapkan inisiatif strategi dan tujuan operasional melalui mitigasi disrupsi, dan proses implementasi recovery (Hong, Paul, et al, 2022)
Pada organisasi pemerintahan, kepemimpinan Institutional sangat tepat diterapkan, dimana untuk melayani publik dan membangun bangsa membutuhkan nilai dan karakter yang kuat untuk dapat tertanam sebagai mindset dan budaya kerja bagi pelayan publik. Kepemimpinan Institutional sebenarnya sudah diterapkan oleh banyak pemimpin, tetapi mungkin belum ada consiousness (kesadaran) akan teori ini, sehingga tidak mengoperasionalisasikan secara lebih mendalam.
Salah satu contoh penerapan teori kepemimpinan Institutional adalah pada pemerintahan Kota Bukittinggi. Pemimpin Kota Bukittinggi periode Tahun 2021 s.d 2024 H. Erman Safar, SH termasuk pada Walikota termuda di Indonesia, dengan menjabat sebagai Walikota pada usia 35 tahun. Beliau berhasil memperoleh banyak penghargaan, termasuk sebagai Inovatif Leader dan Top Pembina BUMD yang didedikasikan dalam keberhasilannya sebagai pemimpin. Dari teori kepemimpinan, H. Erman Safar, SH sebagai Walikota Bukittinggi telah menerapkan Institutional Leadership.
Pertama, ini dapat terlihat dari fondasi yang dibangun yaitu melalui Visi “Menciptakan Bukittinggi Hebat dengan Adat Basandi Syarak, dan Syarak Basandi Kitabullah”. Disini, pemimpin menetapkan nilai dari organisasi dan masyarakatnya, yaitu nilai-nilai adat dan agama. Segala sesuatunya dilakukan berdasarkan pilar-pilar adat dan agama. Nilai-nilai ini termanifestasi pada kebijakan yang diambil dalam rangka membangun nilai-nilai adat dan agama. Salah satu contoh kebijakan tersebut adalah Program Pendidikan yang sudah lama tidak memasukkan unsur pembelajaran Budaya Alam Minangkabau, kembali dihidupkan, dengan nama materi adat basandi syara’ syara’ badandi Kitabullah. Tujuan program ini adalah semua anak dibekali ilmu agama dan adat istiadat sejak dini, sehingga dapat menjadi dasar bagi mereka sebagai generasi bangsa menghadapi kehidupan di tengah era perkembangan tekhnologi. Kemudian melalui program-program keagamaan, kegiatan pembasmian penyakit masyarakat, dan penerapan konsep wisata syariah (wisata halal)
Kedua, Beliau merupakan pemimpin yang menjadikan nilai-nilai historis masa lalu, sebagai pondasi untuk menjalankan aksinya di masa sekarang untuk tujuan di masa datang. Salah satu nilai historis Kota Bukittinggi, yaitu dengan tokoh Muhammad Hatta, memiliki nilai nasionalis, cinta tanah air, memperjuangkan kemerdekaan, solidaritas dan kesetiakawanan, toleransi dan tenggang rasa, tanpa pamrih dan bertanggungjawab, berjiwa ksatria yang berani membela kebenaran dan melawan kejahatan, taat beribadah, demokratis, dan nilai gotong royong. Nilai-nilai ini diadopsi, diterapkan, dan disebar ke setiap jajaran organisasi, sehingga secara kolektif menjadi kekuatan yang mengarahkan perilaku-perilaku untuk mencapai tujuan organisasi yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik dan pembangunan masyarakat. Bahkan nilai ini juga terdifusi ke masyarakat, melalui pemimpinnya yang menjadi role model dalam penerapan nilai-nilai patriotisme ini. Selain itu Kota Bukittinggi juga memiliki nilai historis, sebagai kota perdagangan dan wisata. Nilai ini kembali diambil dan dibangun. Perdagangan yang sempat lesu akibat Pandemi Covid 19, terutama pengusaha mikro kecil, diberi insentif berusaha melalui program bantuan pembiayaan tanpa agunan dan tanpa bunga “Tabungan Utsman”. Berbagai upaya untuk menarik pengunjung wisatawan juga dilakukan dengan sering mengadakan event-event kesenian, olahraga, pariwisata, dan event lainnya, sehingga daya minat beli ikut meningkat.
Keempat, melalui Institutional Leadership, organisasi diterima melalui legitimasi sosial. Pemimpin sebagai perwakilan organisasi memiliki semboyan “berbenteng di hati rakyat”, ini artinya pemimpin yang menggaungkan kepada dirinya sendiri dan kepada pengikutnya untuk menyatu dan penerimaan utuh oleh masyarakatnya. Legitimasi juga dibuktikan, dengan pengakuan-pengakuan banyak lembaga /instansi atas keberhasilan organisasi pemerintah Kota Bukittinggi dalam menjalankan program-programnya, melalui penghargaan-penghargaan yang diperoleh.
Kelima, dalam menghadapi arus globalisasi, dibutuhkan sumber daya manusia yang tangkas (agile), dan inovatif. Pengembangan kompetensi inti dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusianya dan pembelajaran berkelanjutan. Keberadaan Bagian Litbang (penelitian dan pengembangan) mempelopori inovasi-inovasi publik, begitu juga bagi setiap unit kerja diwajibkan untuk memiliki inovasi, sehingga mampu merespon kebutuhan publik, dan mampu mengikuti perubahan lingkungan yang semakin cepat.
Dengan kepemimpinannya, telah membawa banyak kemajuan dan dampak nyata bagi masyarakat, diantaranya termasuk sebagai kota dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang sangat tinggi pada konteks nasional dan berada di urutan kedua terbesar tingkat Provinsi Sumatera Barat, dimana mengalami peningkatan signifikan yakni dari 80,70 pada tahun 2021 menjadi 81,42 pada Tahun 2022 (Badan Pusat Statistik Kota Bukittinggi, 2023). IPM merupakan suatu indikator yang mengukur kualitas hidup suatu populasi, dengan dimensi utama yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Ini artinya perkembangan sosial dan ekonomi penduduk kota Bukittinggi sudah sangat baik, yang merupakan hasil dari program-program berbasis pembangunan masyarakat yang telah dijalankan dengan komitmen yang tinggi pada kepemimpinannya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan pada pemerintahan Kota Bukittinggi, sesuai dengan teori Institutional Leadership merupakan kepemimpinan yang sarat akan nilai (value) dan karakter sebagai pondasi untuk membangun kekuatan bersama (pemerintah dan rakyat) untuk mencapai tujuan bersama yaitu mensejahterakan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat, di tengah revolusi industri 5.0 dan arus kompetisi global yang berdampak pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Dimana ini dilakukan melalui Institutional Leadership yang tidak hanya memfokuskan pada aksi dan reaksi antara leader dan follower untuk mencapai tujuan organisasi semata, tetapi bagaimana suatu organisasi bereaksi terhadap stimuli eksternal, hidup berkelanjutan dalam struktur budaya, norma, dan sosial, diterima oleh masyarakat dan lembaga lainnya, mampu merespon perubahan dengan cepat melalui kapasitas internal sumber daya manusia yang kuat, dengan menegakkan nilai-nilai dan karakter organisasi sebagai prinsip dasar, serta pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk dapat aktif berinovasi.
Kemudian pada Institutional Leadership, pemimpin juga bertindak sebagai role model, pemberi inspirasi, motivasi, pemberi arah, pemberi visi misi, sekaligus sebagai leader yang ikut mengimplementasi. Sehingga dengan Institutional Leadership dapat mengatasi berbagai tantangan dalam menjalankan organisasi di tengah-tengah era globalisasi, dan era disrupsi. Sebagaimana Selznick (Dalam Askeland, Harald, et al, 2020) memberikan penekanan terhadap tugas kepemimpinan Institutional yakni “Tugas membangun nilai-nilai khusus dan kompetensi yang khas ke dalam organisasi adalah fungsi utama kepemimpinan”. Hal ini sesuai dengan ajaran Bapak Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, yang mengutamakan pembangunan karakter bangsa diatas semua bentuk pembangunan lainnya, karena dengan karakter bangsa yang kuat, orang akan lebih cenderung memiliki prinsip moral yang kuat, memiliki wawasan kebangsaan yang sangat baik, dan mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan golongan (*)